Senin, 17 Mei 2010

Bidadari Tak Secantik Senyum mu....episode 1

Didedikasikan untuk mereka yang telah, akan dan mau menikah…selamat membaca ^_*
“Bangun ! imam besar, makmum udah nunggu nih…” bisikan lembut yang mengikuti kecupan dipipiku itu membuatku tak bisa menolak untuk membuka mataku yang masih lengket ini. Kulirik jam di dinding oranye kamar tidur kami dengan seperempat mata terbuka. Pukul tiga pagi.

“Setengah jam lagi yah Makmum Cantik, Imam Besar masih ngantuk berat nih…!” kututupkan lagi selimut yang tersingkap ini ke kepala ku.

“Gak mau, harus bangun sekarang, ntar kucubit lo!” kali ini rengekan manja ini tak bisa kutolak lagi. Dengan bergaya sempoyongan ku melangkahkan ke kamar mandi untuk berwudhu. “Eh…selimutnya gak usah dibawa sayang…!
Pagi ini aku berpura-pura tampak capek. Setelah tidurku tadi malam “terganggu” untuk shalat malam, disambung shalat subuh. Dan “terpaksa” membaca satu juz Al-Qur’an agar aku tidak terlelap lagi. Dengan gaya kuyu aku duduk di depan meja makan menanti sarapan yang disiapkan istriku. Hari ini aku berangkat pagi. Ada rapat.

“Pagi Kanda…pagi ini Dinda buatkan sop pavorit Kanda, biar gak ngantuk lagi.” Senyum manis istriku sudah menyambutku di ruang makan. Aku masih pura-pura sebal. Padahal senyum itulah yang membuatku tak bisa pergi lama darinya dalam dua tahun terakhir ini.

Aku teringat ketika pertama kali kami bertemu. Sebenarnya bukan yang pertama, dia adalah teman SMP-ku. Namun sejak lulus SMP kami tak pernah berjumpa sampai kami bertemu diruang Poliklinik Umum RS Dr.Sardjito. secara kebetulan, sebuah skenario yang indah dari Sang Maha Sutradara. Perjumpaan yang akan mengubah jalan cerita hidupku.

Perutku yang melilit-lilit sejak pagi memaksaku untuk terpaksa menginjakkan ke tempat yang palin aku benci, rumah sakit. Mungkin karena sehari sebelumnya aku dan teman-teman jurusan mesin berpesta di rumah salah satu teman yang telah di wisuda. Seperti biasa anak-anak mesin yang 98,57 persen laki-laki pasti akan melakukan sesuatu yang “radikal” walau kadang konyol. Sesuatu yang dianggap sebagai permainan untuk membuktikan “kejantanan” yang kadang tidak jelas parameternya. Kemenanganku di lomba makan sambal yang mengerikan itu telah mengantarkanku ketempat yang kubenci ini. Walaupun akhirnya peristiwa itu amat kusyukuri.

Waktu itu aku belum lulus, walaupun angka sepuluh menempel dengan malu-malu di semester yang sudah aku tempuh. Biasa anak Mesin memang lambat lulus, begitu biasanya aku berapologi. Walaupun sebenarnya sudah banyak temanku yang lulus. Termasuk yang menyediakan “Pesta Sambal” itu.
Ketika aku melangkah masuk keruang periksa, kulihat senyum yang tidak akan pernah kulupakan. Yanti, temanku SMP dulu, aku tidak akan lupa. Meskipun kini dia memakai kerudung besar di kepalanya. Itulah satu-satunya perubahan besar yang tampak padanya. Sebentar, dia juga bertambah cantik!

“Masya Allah, Tyo ya ? Assalamualaikum…kena apa ?” kata-kata pertama setelah delapan tahun tak bertemu. Waktu itu aku tak banyak bicara, keterkejutan dan sesuatu bergemuruh dihatiku membuatku menjadi pendiam. Bahkan ketika dia mulai “menginterogasi” gejala sakitku aku hanya menjawab sepotong-sepotong. Padahal biasanya aku sangat rewel bila diperiksa.

Ketika itu Yanti masih ko-as. Setelah wisuda menjadi S.Ked. beberapa bulan sebelumnya. Entah mengapa sejak pertemuan itu, aku selalu jadi ingin bertemu dengannya. Padahal saat itu aku sudah punya pacar, Kristin.

Ya, saat itu pergaualanku sangat bebas. Aku tak perduli ketika banyak temanku yang “alim” mempertanyakan hubunganku dengan Kristin yang Khatolik itu. Waktu itu tak masalah bagiku pacaran dengan gadis yang berbeda agama. Toh belum tentu menikah.

“Ah, jangan fanatik, dosen kita aja ada yang istrinya beda agama. Dan mereka oke-oke saja.” Argumen yang selalu aku pakai untuk menepis suara miring tentang Kristin. Namun akhir-akhir itu Kristin agak menjauh dariku setelah aku menolak ikut acara natalan bersama keluarganya. Entahlah walaupun dari sentuhan religius, aku masih merasa perlu untuk tetap konsisten sebagai orang Islam. Aku pernah dengar ada kiyai yang melarang umat Islam ikut natalan.

“Wah…males Kris. Lagian aku kan orang Islam. Aneh kalo ikut natalann nanti dikira murtad aku…”

Kristin yang mulai berlalu dan perjumpaan yang berkesan di Poliklinik, semakin membuatku mantap untuk mendekati Yanti. Kupikir ini seperti mengungkapkan cinta yang dulu tak terungkapkan saat SMP. Dulu aku memang pernah menyukai Yanti ketika SMP. Namun cinta monyet segera berlalu. Di SMA aku berpacaran dengan Erlin, Julia, Anna…wah aku memang “buaya”!

Yanti memang tak secantik Kristin yang aduhai itu. Tapi senyumnya yang ikhlas dan natural tanpa sapuan kosmetik itu benar-benar membuatku “melayang”. Entahlah seharusnya aku tidak tertarik pada penampilannya yang “Full Cowled”. Kurasa ada “Something Wrong” pada hatiku. Biasanya aku hanya mengejar gadis untuk “having fun”. Dan tentu saja gadis yang bisa diajak “having fun” bukan tipe seperti yanti ini. Aku tahu karakter orang-orang berkerudung besar seperti Yanti ini. Mereka anti pacaran !

Karena itu aku mencari metoda pendekatan lain. Kukirim SMS dengan pesan-pesan religius yang kudapat dari anak-anak SKI dan buku-buku agama. Aku kadang sekedar mampir kerumahnya dengan berjuta alasan agar bisa bertemu. Mengajak reuni, atau sekedar menanyakan khabar. Dan tentu saja aku harus tampil dengan penampilan yang menunjang. Harus tampil religius. Baju koko plus peci pinjaman jadi modal meyakinkan. Itupun aku tak pernah bisa ngobrol berdua. Yanti selalu mengajak ibunya ikut berbincang. Wah aku jadi keki. Ilmu “menggombal buaya-ku” tak bisa kupakai! Tapi tetap saja aku senang. Melihat senyumnya saja membuatku melihat dunia dua kali lebih indah! Suer!

To Be Continue.....

0 komentar:

Posting Komentar




MUSLIMAH PERADABAN © 2010 Template by:
Nindiana Amalia