Kamis, 03 Juni 2010

Senyuman Terindah....



Selama 5 tahun aku bekerja bersama dalam dakwah bersama Malikha, aku tak pernah sedikitpun tau ketika dia tersenyum. Hanya wajahnya yang garang dan ditundukkannya kepala yang selalu ia berikan ketika berdiskusi bersamaku dan teman – teman yang lain. Seolah hampa yang diperoleh, hingga hampir tak ada wajah ceria di mukanya. Ketika teman – teman tertawa terbahak – bahak pun, dia hanya cuman sedikit meringis untuk menahan tawanya yang bisa saja dipancing yang lainnya.

Malikha adalah akhwat yang sholihah, tak pernah sedikitpun ia membuat ulah. Akhwat yang qowi’ dan selalu taat dalam menjalankan segala amanah. Baik amanah orang tuanya maupun amanah di organisasi. Namun, tampangnya yang garang membuat para ikhwan berkelit hati ketika ingin berdiskusi dengannya. Padahal menurutku, dia baik, sopan dan baik hati. Walau mungkin mukanya tak enak untuk dilihat. Aduh “Astaghfirulloh” lagi pula juga ngapain ya diskusi harus liat tampang dulu…bukankah kita disuruh untuk menjaga pandangan pada surat An Nur : 30, yang bunyi firmanNya seperti ini : “Katakanlah kepada laki – laki yang beriman, agar menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Alloh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. 


Aku dan Malikha sama – sama menamatkan kuliah kami secara bersamaan tanpa unsur kesengajaan, mungkin ini hanya kebetulan saja kami berdua bisa lulus dan wisuda pada waktu yang bersamaan. Namun, setelah kami tidak berdakwah lagi di kampus, kami pun sudah mulai sibuk sendiri untuk mengurusi pekerjaan kami masing – masing. Aku bekerja di PKPU Jawa Barat, sedangkan Malikha di Lembaga Trainer di salah satu kota Bandung. 
Karena diri sudah merasa mapan dan sudah siap untuk menyempurnakan seperuh dien. Akhirnya aku memutuskan untuk mengatakan kepada murobbiku, jika aku ingin menyegerakan menikah pada waktu itu. Tak berapa lama, hanya cuman 2 hari saja akupun mendapatkan jawaban dari murobbiku dan meminta proposal nikahku untuk diberikan kepada seorang akhwat. 
Hampir satu bulan aku menunggu jawaban dari si akhwat tersebut. Hingga akhirnya, aku pun dipertemukan dengan akhwat tersebut dan berta’aruf dengannya bersama murobbi kami masing - masing. Selama setengah jam, kami berbincang dibalik hijab akhirnya kami berdua memutuskan untuk melanjutkan niat baik kami yaitu menikah. 
Malam itu dadaku agak serasa sesak, setengah tak percaya dan tak mungkin. Karena akhwat yang kuajak ta’aruf tadi siang adalah akwat yang bernama Malikha. Malikha yang selama ini sering memasang muka galak, Malikha yang tak pernah sedikitpun tersenyum kepada semua orang. Aku hanya berfikir, bagaimana jika nanti aku jadi suaminya, bagaimana jika aku pulang disambut dengan tampang muka seram seperti itu. Oh…tidak, tapi kenapa aku meng-iyakan pernikahan ini. 
Hingga 1 bulan dari ta’aruf berlalu, ijab qobulpun ku ucapkan didepan seorang penghulu. Sebagai syarat untuk menghalalkanku dengan Malikha. Rasa hati ini masih bercampur aduk menjadi satu. Antara senang dan merasa berat untuk menjalaninya. Setelah 5 menit berlalu, akhirnya Malikha menuju kehadapanku dan mencium tanganku dengan lembut. Dan setelah itu kami melaksanakan pesta walimatul ‘ursy, hingga sore tiba. 
Ketika malam sudah menghampiri kami, aku duduk terdiam di dalam kamar. Sedangkan Malikha sibuk dimana, entah akupun tak tau. Aku masih saja berfikir dengan ketidaksenanganku saja, kenapa aku bisa menikah dengan Malikha. Akhwat yang tak pernah senyum, tak ramah dan wajahnyapun sedikit garang. Ya Robbi…kuatkan aku, berikan aku kesabaran dengan semua takdirMu ini. Jika memang ia adalah jodohku, mau apalah dikata. 
Tiba – tiba aku terkaget dengan bunyi ketukan pintu dan ucapan salam yang lembut dari balik pintu kamar. Lalu ku balas salam itu dan segera aku membukakan pintu. Malikha masuk dengan membawa segelas susu untukku. Dan ia pun berkata “Selamat malam suamiku, ini secangkir susu hangat buatmu, kalo bisa diminum sekarang ya…nanti keburu dingin”. Ku melihatnya dengan mata ini, ku melihat ia tersenyum merekah sembari menawarkan susu hangat kepadaku. Ini adalah senyuman terindah yang selama ini belum pernah aku jumpai sebelumnya. Akhirnya aku segera meminum segelas susu hangat itu hingga habis. 
Aku pun tau sekarang, kenapa ia tak pernah senyum kepada lelaki manapun. Karena senyuman terindahnya ingin ia perembahkan kepada yang halal baginya. Senyuman terindahnya ingin ia simpan dan hanya akan diberikan kepada suaminya saja. Dan tak semua laki – laki bisa melihat senyuman ini. Aku pun bersyukur dalam dzikir malamku, mendapatkan anugerah istri sepertinya. Ia menjaga senyuman terindahnya hanya untukku. 

By : Syamsa Nggie 

1 komentar:

MUSLIMAH PERADABAN mengatakan...

Alhamdulillah....
akhirnya tulisan ini bisa nampang juga di blog...hehehe

Semoga bisa nambah inspirasi buat temen2 aja...
dan minta doanya terus supaya atika bisa nulis terus...amin :)

Posting Komentar




MUSLIMAH PERADABAN © 2010 Template by:
Nindiana Amalia